Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 01 Desember 2010

SBY VS SULTAN. . .


Demokrasi konvensional yang ditekankan SBY, secara kritis dikoreksi Sultan dengan argumen demokrasi bukan prosedural semata, melainkan harus bertumpu pada kepentingan rakyat Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Untuk melihat kembali DIY, tentu harus merujuk pada perspektif sejarah lahirnya DIY. Perang wacana Gubernur DIY/Sultan HB X dan Presiden SBY sedemikian rumit, sampai-sampai Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, jika sekiranya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, ia akan mempertimbangkan jabatan gubernur yang dipegangnya saat ini.
"Saya akan mempertimbangkan kembali jabatan Gubernur DIY, itu merupakan pernyataan politik saya. Silahkan bagaimana mau menafsirkannya," kata Sultan yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di DIY, Sabtu (27/11).
Sultan juga mengaku tidak mengerti mengapa pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) disebut SBY menggunakan sistem monarki. Padahal, DIY sama seperti dengan provinsi lainnya.
Sejarah Yogyakarta adalah sejarah perjuangan RI. Yogyakarta memperoleh status sebagai daerah istimewa atas dasar sejarah pada saat terbentuknya negara. DIY resmi terbentuk 4 Maret 1950, melalui UU No. 3 tahun 1950. Namun kehadirannya sebagai daerah istimewa sudah ditetapkan dua hari setelah proklamasi kemerdekaan.
Yogyakarta berawal dari terbentuknya Kerajaan Mataram Kuno. Pada tahun 732, Kerajaan Mataram Kuno diperintah Raja Sanjaya. Kemudin kurun waktu 750-850, Dinasti Sailendra menjadi penguasa Mataram. Dia membangun candi Borobudur yang selesai pembangunannya di 825, di era raja Samaratunga.
Kurun waktu 1613-1645, Sultan Agung memerintah di Kerajaan Mataram Islam. Sultan Agung berhasil memperluas wilayah kerajaannya sampai keseluruh Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, Kalimantan dan sebagian Jawa Barat.
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), yang pada waktu itu telah menguasai Batavia menjadi penghalang perluasan wilayah. Untuk menghilangkan penghalang itu, Sultan Agung melakukan serangan terhadap VOC. Serangan dilakukan pada 1628 dan 1629. Namun mereka gagal mengalahkan VOC.
Peperangan antara Mataram dengan VOC secara keseluruhan dimenangkan VOC. Mereka berhasil mengusahakan ‘perdamaian’, yaitu, dengan menggelar penjanjian Giyanti. Melalui perjanjian ini, Mataram pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pada 1755, Mangkubumi mengubah gelar dari Susuhunan menjadi Sultan. Selain itu, dia mengubah namanya menjadi Hamengkubuwono, sekarang dikenal dengan nama Sultan Hamengkubuwono I. Setelah Hamengkubuwono I meninggal dunia, Kasultanan Yogyakarta diperintah Hamengkubuwono II (1792-1810).
Era pemerintahan Hamengkubuwono II ini diwarnai penahanan Belanda atas adik Sultan, yaitu, Pangeran Notokusumo. Pada 1811, Inggris yang waktu itu menguasai Jawa, membebaskannya. Pangeran Notokusumo kemudian bergelar Sri Paku Alam I dan mengembangkan pemerintahan di Pakualaman.
Jadi, Kasultanan Yogyakarta memiliki hubungan yang sangat erat dengan Kadipaten Pakualaman karena pendiri Kadipaten Pakualaman ini merupakan anak dari dari Sultan Hamengkubuwono I (pendiri Kasultanan Yogyakarta).
Menginjak abad dua puluh, sebelum proklamasi kemerdekaan RI, Yogyakarta masih merupakan dua buah kerajaan, yaitu, Kesultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai rajanya, dan Kadipaten Paku Alaman dengan Paku Alam VIII sebagai rajanya.
Ketika berita proklamasi sampai ke Yogyakarta, melalui suatu pertemuan, keduanya sepakat untuk menyambut proklamasi tersebut sebagai suatu cita-cita bersama yang telah tercapai. Keduanya memberikan dukungan penuh pada kepemimpinan presiden Soekarno dan Wakil presiden Mohammad Hatta.
Pada 1947 berdiri kota Yogyakarta yang wilayahnya meliputi Kabupaten Yogyakarta, terdiri dari Kasultanan dan Paku Alaman, ditambah sebagian kecil daerah bekas wilayah Kabupaten Bantul.
Pada saat ibukota RI pindah ke Yogyakarta, selain presiden dan wakil presiden, turut pindah ratusan ribu orang yang terdiri dari para pemimpin bangsa, pegawai dan kaum republikan yang dengan semangat tinggi ingin mempertahankan kemerdekaan. (sumber: Nasional Inilah.Com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar